kegiatan dan aktivitas dakwah Islamiyyah tendik di lingkungan DSP

Kemerdekaan sering dipahami sebagai bebas dari penjajahan, bebas menentukan nasib sendiri, atau terbebas dari kekuasaan asing. Namun, dalam pandangan Islam, kemerdekaan memiliki makna yang jauh lebih dalam—bukan sekadar lepas dari belenggu fisik, tetapi juga bebas dari perbudakan hawa nafsu, syahwat, ketakutan pada sesama manusia, dan belenggu duniawi yang membuat hati menjadi tawanan.

Kemerdekaan dalam Islam

Islam memandang kemerdekaan sejati sebagai kebebasan hati dan jiwa untuk tunduk hanya kepada Allah. Seseorang yang merdeka secara lahiriah, tetapi hatinya terikat pada harta, jabatan, atau pujian manusia, sejatinya masih terpenjara. Al-Qur’an menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah semata:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyāt: 56)

Ayat ini menjadi pondasi bahwa kemerdekaan yang sejati adalah ketika kita memerdekakan diri dari perbudakan selain Allah. Rasulullah pun bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa kebebasan sejati adalah saat hati tenang dan ridha dengan ketentuan Allah, bukan terikat pada ambisi dunia yang tak ada ujungnya.


Tan Malaka dan Kemerdekaan Sejati

Tokoh pergerakan nasional, Tan Malaka, menegaskan bahwa hakikat kemerdekaan sejati tidak hanya diukur dari bebasnya suatu bangsa dari penjajahan fisik atau kekuasaan asing, tetapi dari pembebasan pikiran dari segala bentuk penindasan dan kebodohan. Menurutnya, bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang memiliki kemampuan berpikir secara bebas, kritis, dan berlandaskan pada kebenaran, bukan sekadar mengikuti arus atau tunduk pada doktrin yang menyesatkan.

Jika kita sandingkan pandangan Tan Malaka dengan ajaran Islam, maka pikiran yang merdeka adalah pikiran yang tidak dikuasai kebatilan, tetapi tunduk pada kebenaran Ilahi. Al-Qur’an mengajak manusia untuk menggunakan akal agar tidak terperangkap dalam kegelapan:

الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدٰىهُمُ اللّٰهُ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ اُولُوا الْاَلْبَابِ

 

“(Yaitu) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 18)

Di sini, kemerdekaan pikiran bukan berarti bebas sebebas-bebasnya tanpa batas, melainkan bebas dari kebodohan, fanatisme buta, dan hawa nafsu—lalu tunduk pada kebenaran yang Allah turunkan.


Realita: Kemerdekaan dalam Kehidupan Modern

1. Manusia Merdeka Menurut Psikologi

Psikologi modern memandang kemerdekaan sejati sebagai kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri (self-determination)—memiliki tujuan hidup yang jelas, mampu membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai pribadi, dan tidak hidup di bawah tekanan yang mematikan potensi diri.

Carl Rogers, tokoh psikologi humanistik, menyebut bahwa manusia merdeka adalah mereka yang fully functioning person—hidup otentik, menerima diri sendiri, terbuka terhadap pengalaman baru, dan mampu bertanggung jawab penuh atas pilihannya.

Namun, sering kali kita melihat orang yang secara finansial sukses, tetapi hatinya tertekan, pikirannya cemas, atau selalu merasa kurang. Inilah tanda bahwa kemerdekaan psikologis tidak otomatis dimiliki oleh mereka yang sukses lahiriah.

2. Merdeka diera modern saat ini

Di zaman modern ini, bentuk penjajahan tidak selalu berbentuk rantai besi atau senjata. Ada penjajahan gaya baru yang justru masuk melalui pintu yang kita biarkan terbuka: teknologi, informasi, budaya populer, bahkan sistem ekonomi. Banyak orang terjebak dalam perbudakan gaya hidup konsumtif, pencitraan media sosial, dan ketergantungan finansial.

Kita mungkin bebas secara politik, tetapi banyak yang menjadi “budak” cicilan, “budak” gaya hidup, atau “budak” validasi online. Inilah realita: kemerdekaan fisik bisa dimiliki, tetapi kemerdekaan hati dan pikiran sering hilang tanpa kita sadari.

Dalam Islam, mencari rezeki adalah kewajiban yang dimuliakan. Namun kemerdekaan dalam bekerja bukan berarti bebas dari kerja keras, melainkan bebas dari ketergantungan yang merendahkan martabat. Rasulullah bersabda:

عن الزبير بن العَوَّام رضي الله عنه مرفوعاً: «لأَن يأخذ أحدكم أُحبُلَهُ ثم يأتي الجبل، فيأتي بِحُزْمَة من حطب على ظهره فيبيعها، فَيَكُفَّ الله بها وجهه، خيرٌ له من أن يسأل الناس، أعْطَوه أو مَنَعُوه».  

“Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa ‎utas tali, lalu ia pergi ke gunung, kemudian ia kembali dengan memikul ‎seikat kayu bakar dan menjualnya, sehingga dengan hasil itu Allah ‎mencukupkan kebutuhan hidupnya. Itu lebih baik baginya daripada ‎meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberinya ataupun ‎tidak.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Bekerja dengan tangan sendiri adalah simbol kemerdekaan. Merdeka dalam mencari rezeki berarti kita tidak bergantung pada belas kasihan orang lain, tidak menggadaikan prinsip demi keuntungan, dan tetap menjaga halal-haram dalam usaha. Inilah kebebasan ekonomi yang menjadi bagian dari kemerdekaan sejati.


Bagaimana Meraih Kemerdekaan yang Sejati?

  • Tunduk hanya kepada Allah, bukan pada hawa nafsu atau tekanan manusia.
  • Mengisi akal dengan ilmu yang benar, bukan sekadar informasi yang menyesatkan.
  • Mengendalikan emosi dan ego, agar keputusan hidup tidak dikuasai amarah atau keserakahan.
  • Mencari rezeki dengan cara yang halal, sekalipun jalannya berat, agar hati tetap lapang dan mulia.
  • Melatih rasa syukur dan qana’ah, sehingga hati tidak terpenjara oleh ambisi tak terbatas.

Kemerdekaan sejati bukan hanya urusan politik atau sejarah, tetapi perjalanan spiritual, intelektual, dan moral yang berlangsung seumur hidup. Islam mengajarkan bahwa merdeka berarti bebas dari segala bentuk penghambaan kepada makhluk, dan hanya menjadi hamba Allah. Tan Malaka mengingatkan kita untuk memerdekakan pikiran dari kebodohan. Psikologi mengajarkan pentingnya kemerdekaan batin untuk hidup otentik. Dan realita mengajarkan bahwa merdeka dalam bekerja adalah pondasi martabat manusia.

Karena itu, mari kita jaga kemerdekaan ini—mulai dari hati, pikiran, hingga tindakan—agar kita benar-benar merdeka, di dunia dan di akhirat.

Terimakasih.

-Azhar Rahmanto, S.Pd. M.Pd. (Staf Badan Penjaminan Mutu) UII-

Dalam kehidupan dunia yang fana ini, manusia sering kali terjebak dalam hiruk pikuk pekerjaan, ambisi, persaingan, dan tuntutan pencapaian. Namun, kisah-kisah dari para sahabat Rasulullah ﷺ memberikan pencerahan bahwa kunci meraih surga bukan semata karena ibadah lahiriah yang banyak dan wah, melainkan kebeningan hati serta akhlak yang mulia.

Kisah Seorang Calon Penghuni Surga

Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa suatu hari Rasulullah ﷺ bersabda di hadapan para sahabat:

 يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Akan datang kepada kalian sekarang seorang penghuni surga.”

Kemudian datanglah seorang laki-laki Anshar yang janggutnya masih basah karena wudhu dan sandalnya dijinjing dengan tangan kirinya. Hal ini terjadi selama tiga hari berturut-turut. Abdullah bin Amr bin al-‘Ash penasaran dan ingin mengetahui amalan apa yang membuat laki-laki itu mendapat jaminan surga dari Rasulullah ﷺ. Ia pun meminta izin untuk menginap di rumahnya selama tiga hari.

Selama tinggal bersama, Abdullah bin Amr tidak melihat ada amalan istimewa yang dilakukan laki-laki Anshar itu. Ia tidak banyak berpuasa atau melakukan shalat malam secara berlebihan. Akhirnya, Abdullah bin Amr bertanya secara jujur, apa amalan yang dilakukannya hingga Rasulullah ﷺ menyebutnya sebagai penghuni surga.

Laki-laki itu menjawab:

مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ

“Tidak ada selain yang anda lihat. Kecuali mungkin aku tidak merasakan dalam diriku kotor hati kepada seorang muslim pun dan aku tidak pernah hasud kepada seorang pun yang Allah berikan kebaikan kepadanya.” [1]

Mendengar itu, Abdullah bin Amr berkata, 

 هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ

“Inilah yang menjadikanmu mencapai derajat itu, dan inilah yang tidak mampu kami lakukan.”

 

Hati yang Bersih adalah Kunci

Kisah ini menunjukkan bahwa hati yang bersih dari iri, dengki, dan dendam adalah salah satu amalan besar yang mengantarkan seseorang ke surga. Ini selaras dengan sabda Rasulullah ﷺ:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah dari kesombongan.” (HR. Muslim no. 91) [2]

Kesombongan, iri, dengki, dan dendam adalah penyakit hati yang dapat menghancurkan amal dan memutus tali persaudaraan.

Allah ﷻ pun memuji orang-orang yang mensucikan jiwanya:

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكّٰىۙ

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya.” (QS. Al-A’laa:14) [3]

Penyucian diri di sini mencakup pembersihan hati dari segala penyakit batin.

Relevansi dalam Dunia Pekerjaan

Di lingkungan kerja, kita tak luput dari ujian hati: iri terhadap rekan yang selalu dilibatkan dalam proyek, dengki pada kolega yang lebih dekat dengan pimpinan, atau menyimpan dendam karena pernah dimarahi atau murni tidak suka dengan orang tersebut. Semua itu adalah penyakit yang sering dianggap biasa namun berdampak besar secara spiritual.

Bayangkan jika kita mampu bekerja dengan penuh keikhlasan, mendukung rekan yang sukses, tidak memendam prasangka buruk, dan mendoakan kebaikan bagi semua. Betapa tenteramnya lingkungan kerja dan betapa besarnya pahala yang kita raih di sisi Allah.

Sebagaimana kisah sahabat Rasulullah tadi, amalan lahiriah bisa saja tampak sederhana, namun kebersihan hati adalah istimewa.

Akhlak Baik: Bekal ke Surga

Dalam sebuah hadits disebutkan:

إنَّ المُؤْمِنَ ليُدرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ القَائِمِ

“Sesungguhnya seorang mukmin bisa meraih derajat orang yang rajin berpuasa dan shalat dengan sebab akhlaknya yang luhur.” (HR. Ahmad no. 25013 dan Abu Dawud no. 4165. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhiib no. 2643.)[4]

Berikut beberapa poin penting yang bisa kita ambil dari kisah Abdullah bin Amr dan lelaki Anshar tersebut:

  1. Jaga kebersihan hati di tempat kerja
    Hindari menyimpan iri hati, dendam, atau benci pada rekan kerja. Saling support jauh lebih menyenangkan dan membawa keberkahan.
  2. Luruskan niat bekerja
    Niatkan bekerja sebagai bagian dari ibadah kepada Allah. Dengan begitu, pekerjaan bukan hanya sekadar rutinitas, tapi bisa jadi jalan menuju surga.
  3. Memaafkan lebih cepat
    Jangan biarkan kesalahan kecil menjadi batu sandungan. Orang yang mudah memaafkan, hatinya lapang, pikirannya tenang, dan auranya positif ke semua orang.
  4. Jangan membicarakan keburukan rekan kerja
    Ghibah dan su’udzan bisa jadi dosa besar. Lebih baik fokus memperbaiki diri dan membantu rekan kerja yang sedang kesulitan.
  5. Bersyukur dan tidak iri atas pencapaian orang lain
    Ketika teman mendapatkan yang lebih dari kita, seharusnya kita ikut senang dan mendoakan dengan baik. Allah akan memberi gantinya untuk kita kelak.
  6. Jadikan akhlak sebagai pencitraan terbaik
    Di dunia kerja, kejujuran, kesabaran, dan integritas lebih kuat daripada CV panjang. Akhlak mulia membuka banyak pintu, bahkan yang tak disangka-sangka.
  7. Menjauhkan diri dari sifat sombong
    Sombong merupakan sikap yang merugikan diri sendiri dan merusak hubungan dengan orang lain. Dalam lingkungan kerja, kesombongan dapat menghambat kolaborasi, menutup pintu kesempatan, serta mengurangi keberkahan dalam pekerjaan. Bersikap rendah hati, meskipun telah meraih banyak pencapaian. Jangan merasa diri paling hebat atau paling berjasa di tempat kerja. dan selalu ingat bahwa setiap keberhasilan adalah anugerah dari Allah SWT.

Dengan menjaga akhlak dalam kehidupan sosial, termasuk di tempat kerja, InshaAllah kita sedang membuka jalan menuju surga.

Penutup

Marilah kita berusaha membenahi hati: memaafkan yang menyakiti, menghapus iri dalam diri, dan mendoakan kebaikan bagi sesama. Surga bukan hanya untuk yang banyak ibadah, tapi juga bagi mereka yang mampu menjaga hatinya tetap bersih.

Wallahu a’lam.

Marāji’:

[1] Abu Amina Elias. A man is guaranteed Paradise for having no hatred or envy in his heart. 23 November 2011. Diakses dari: https://www.abuaminaelias.com/dailyhadithonline/2011/11/23/man-jannah-no-hasad

[2] Muslim bin al-Hajjaj. Shahih Muslim, no. 91a, Kitab al-Iman. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud. Diakses dari: https://nashislam.com/hadits/artikel/97/hakekat-kesombongan/

[3] Al-Qur’an Surat Al-A’laa:14. Tafsir Ibnu Katsir. Diakses dari: https://tafsirweb.com/12560-surat-al-ala-ayat-14.html

[4] Muslim.or.id. (2019, 10 Oktober). Keutamaan berhias dengan akhlak mulia. Diakses dari: https://muslim.or.id/40677-keutamaan-berhias-dengan-akhlak-mulia.html

[5] Redaksi Suara Muhammadiyah. (2024). Keutamaan dan Kedudukan Akhlaq. Diakses pada 30 Juli 2025 dari: https://www.suaramuhammadiyah.id/read/keutamaan-dan-kedudukan-akhlaq

-Susilo Indarto, S.Pi. DSP-

 

Sebagai hamba Allah yang lemah, kita wajib menyadari bahwa segala nikmat dan karunia yang kita rasakan setiap hari hanyalah datang dari-Nya. Kesadaran ini hendaknya melahirkan rasa syukur yang tulus dalam hati, sebagai bentuk pengakuan bahwa segala sesuatu yang kita miliki—baik harta, kesehatan, waktu, kesempatan, maupun ilmu—bukanlah hasil semata dari usaha pribadi, melainkan anugerah dari Allah subḥānahu wa taʿālā.

Allah telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:

ࣙالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَّلَمْ يَكُنْ لَّهٗ شَرِيْكٌ فِى الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهٗ تَقْدِيْرًا

“Yang kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya, dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”
(QS. Al-Furqan: 2)

Ayat ini mengingatkan bahwa Allah adalah pemilik mutlak alam semesta, tidak ada yang menyamai-Nya dalam kekuasaan dan tidak satu pun dari makhluk-Nya yang luput dari perhitungan-Nya yang sempurna. Maka sudah sepatutnya manusia sebagai makhluk yang lemah dan terbatas, bersandar penuh kepada-Nya dan selalu bersyukur atas segala ketentuan dan nikmat-Nya.

Rasa Syukur sebagai Kunci Kehidupan

Syukur bukan hanya ucapan di lisan, namun juga harus hadir dalam hati dan diwujudkan melalui amal perbuatan. Allah menegaskan pentingnya rasa syukur dalam berbagai ayat, salah satunya dalam:

“…dan hendaklah kalian bertakbir (memuji Allah) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, agar kalian bersyukur.”
(QS. Al-Baqarah: 185)

Ayat ini menunjukkan bahwa setiap petunjuk dan nikmat dari Allah selayaknya disambut dengan takbir dan rasa syukur, sebagai tanda pengagungan dan penghambaan kepada-Nya. Dengan bersyukur, jiwa menjadi lebih tenang, hidup terasa lebih bermakna, dan berbagai nikmat yang kita terima pun akan bertambah.

Allah berjanji dalam firman-Nya:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
(QS. Ibrahim: 7)

Ayat ini menjelaskan bahwa syukur adalah sebab bertambahnya nikmat, sedangkan kufur terhadap nikmat (tidak bersyukur) menjadi penyebab datangnya azab. Maka, bersyukur sejatinya bukan hanya ekspresi keimanan, tetapi juga investasi spiritual yang membawa keberkahan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Wujud Nyata Syukur

Syukur tidak berhenti pada hubungan vertikal antara hamba dan Tuhannya. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ

“Barangsiapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah.”
(HR. Abu Dawud)

Hadis ini menunjukkan bahwa rasa syukur juga harus diwujudkan dalam hubungan sosial. Menghargai bantuan orang lain, mengucapkan terima kasih, dan memperlakukan sesama dengan baik merupakan bagian dari manifestasi syukur yang nyata. Dengan begitu, kita tidak hanya membangun kedekatan dengan Allah, tetapi juga mempererat hubungan dengan sesama manusia.

Tips Memperbanyak Syukur dalam Kehidupan Sehari-hari
Untuk membantu kita lebih konsisten dalam bersyukur, berikut beberapa tips yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Merenungkan Nikmat yang Diberikan Allah
    Setiap hari, luangkan waktu beberapa menit untuk merenungkan nikmat yang Allah berikan, baik yang besar maupun yang kecil. Kesehatan, udara yang kita hirup, dan keluarga yang kita cintai adalah sebagian kecil dari anugerah-Nya.
  2. Mengucapkan Alhamdulillah dalam Setiap Keadaan
    Biasakan mengucapkan Alhamdulillah setiap kali mendapatkan nikmat, baik dalam kebahagiaan maupun ketika menghadapi ujian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Jika dia mendapat kebahagiaan, dia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa musibah, dia bersabar, maka itu juga menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
  3. Menolong Sesama
    Dengan membantu orang lain, kita akan lebih sadar bahwa nikmat yang kita miliki harus disyukuri dan dimanfaatkan untuk kebaikan. Allah mencintai hamba-Nya yang membantu sesama dan menjadi perantara bagi orang lain.
  4. Menjaga Ibadah dan Memperbanyak Dzikir
    Dengan menjaga shalat, berdoa, dan memperbanyak dzikir, hati kita akan lebih mudah merasakan kebesaran Allah, sehingga kita menjadi hamba yang lebih bersyukur.

Dengan menerapkan langkah-langkah ini, insya Allah kita akan menjadi pribadi yang selalu bersyukur, baik dalam suka maupun duka. Hidup kita akan dipenuhi dengan keberkahan, ketenangan, dan kebahagiaan yang berkelanjutan, baik di dunia maupun di akhirat.

Rasa syukur merupakan fondasi penting dalam kehidupan seorang Muslim. Ia menguatkan keimanan, menenangkan jiwa, dan menjadi sebab turunnya keberkahan. Maka marilah kita berlatih untuk senantiasa bersyukur, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dengan lisan, hati, dan perbuatan. Semoga Allah memudahkan kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur dan dijauhkan dari sifat kufur nikmat.

Semoga kita termasuk dalam golongan hamba yang senantiasa bersyukur dan mendapatkan tambahan nikmat serta ridha dari Allah subhanahu wa ta’ala.

-Jaka Indarta DSP-

Alam semesta merupakan salah satu manifestasi paling nyata dari kebesaran dan keagungan Allah SWT. Setiap unsur ciptaan-Nya—mulai dari gunung yang menjulang tinggi, samudera yang luas, langit yang membentang, hingga dedaunan yang berguguran—semuanya mencerminkan keindahan, keteraturan, dan kekuasaan Sang Pencipta.

Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ

“Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.”
(QS. Ali Imran: 190)

Melalui refleksi terhadap alam, kita diajak untuk tidak sekadar menikmati keindahannya, tetapi juga menggali pelajaran spiritual yang dapat memperkuat keimanan dan membentuk kesadaran diri sebagai makhluk yang lemah di hadapan kebesaran-Nya.

1. Ciptaan yang Sempurna: Bukti Kemahakuasaan-Nya

Setiap detail dari ciptaan Allah—baik yang kasat mata maupun yang hanya bisa dilihat melalui lensa mikroskop atau teleskop—mengandung kesempurnaan yang tak tertandingi. Tidak ada satu pun unsur alam yang tercipta secara sia-sia, apalagi keliru.

Allah SWT berfirman:

الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ

“Dia yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Engkau tidak akan melihat dalam ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah itu suatu ketidaksempurnaan. Maka, lihatlah sekali lagi: Apakah engkau melihat sesuatu yang cacat?”
(QS. Al-Mulk: 3)

Ayat ini menegaskan bahwa kesempurnaan ciptaan adalah bukti kemahakuasaan dan keagungan-Nya. Dengan merenungkan hal ini, kita diajak untuk senantiasa bersyukur dan tak henti mengagumi kebesaran Allah dalam setiap helaan nafas kehidupan.

2. Keseimbangan dan Harmoni: Pelajaran dari Tatanan Alam

Alam bekerja dalam sistem yang harmonis dan saling terkait. Siklus air, sistem fotosintesis, interaksi ekosistem, serta posisi bumi terhadap matahari—semuanya menunjukkan tatanan yang sangat presisi. Hal ini mengajarkan kita pentingnya menjaga keseimbangan dan menjalani kehidupan dengan penuh tanggung jawab.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan atas segala sesuatu.”
(HR. Muslim)

Keseimbangan dalam alam menjadi pengingat bagi manusia agar tidak bertindak sewenang-wenang dan senantiasa mengedepankan kebaikan dalam hubungan dengan sesama, serta menjaga lingkungan sebagai amanah yang dititipkan oleh Allah SWT.

3. Pelajaran Spiritual dari Keajaiban Alam

Fenomena alam seperti pelangi, hujan yang menyejukkan bumi, matahari yang terbenam secara perlahan, hingga denting air yang mengalir di sungai, semuanya mengandung pesan-pesan ilahiah yang mampu menggugah hati dan memperdalam kesadaran spiritual.

Allah SWT berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari dan bulan, tetapi sujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya beribadah.”
(QS. Al-Baqarah: 189)

Fenomena-fenomena ini bukan sekadar keindahan visual, tetapi juga sarana perenungan mendalam untuk menumbuhkan keimanan yang lebih kokoh.

4. Menjaga Alam: Bentuk Ibadah dan Amanah

Manusia diciptakan bukan hanya sebagai penikmat alam, tetapi juga sebagai khalifah di bumi, yang bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Merusak alam adalah bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah dan pengkhianatan terhadap amanah yang telah diberikan.

Allah SWT memperingatkan:

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya. Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya, rahmat Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-A’raf: 56)

Dengan menjaga alam, kita menunjukkan rasa syukur yang sejati serta memperkuat hubungan kita dengan Allah SWT melalui tindakan nyata.

5. Berdoa dan Bersyukur di Tengah Keindahan Alam

Berada di alam terbuka memberi kesempatan untuk merenung, berdzikir, dan mensyukuri nikmat Allah dalam suasana yang jauh dari hiruk pikuk dunia. Alam menjadi ruang kontemplasi yang menyegarkan jiwa.

Nabi Muhammad ﷺ mengingatkan:

“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu adalah kesehatan dan waktu luang.”
(HR. Bukhari)

Mengisi waktu luang dengan merenungi ciptaan Allah dan menyatu dengan alam merupakan cara terbaik untuk memaknai nikmat tersebut sekaligus memperkuat spiritualitas kita.

Kesimpulan

Merenungkan keindahan alam bukan sekadar kegiatan visual, tetapi merupakan perjalanan batin yang mendalam. Melalui ciptaan-Nya, Allah mengajarkan kita tentang kesempurnaan, keteraturan, dan kasih sayang-Nya yang tak terhingga. Tugas kita sebagai manusia adalah menjaga, merawat, dan mensyukuri alam sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab.

Mari jadikan alam sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Dengan menjaga ciptaan-Nya, kita turut menjaga nikmat yang telah Allah titipkan, agar keberkahan-Nya senantiasa mengiringi kehidupan kita.

-Istiyar Mifta B.S. DSP-

Kejujuran merupakan karakter luhur yang menjadi dasar utama bagi setiap pekerjaan yang bernilai dan membawa keberkahan. Dalam konteks profesional, kejujuran tercermin dalam pelaksanaan tugas secara amanah, tanpa melakukan pengurangan, penambahan, maupun manipulasi dalam bentuk apa pun. Nilai kejujuran juga menjadi pondasi fundamental dalam membangun kepercayaan dalam setiap bentuk interaksi maupun transaksi dengan pihak lain.

Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 119:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.”

Ayat ini adalah perintah untuk selalu bersikap jujur dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pekerjaan. Ketika kita bekerja dengan jujur, Allah akan memberikan keberkahan pada rezeki yang kita peroleh. Sebaliknya, rezeki yang dihasilkan dari ketidakjujuran akan menjadi sumber keburukan dan hilangnya keberkahan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah ﷺ bersabda:

التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ، وَالصِّدِّيقِينَ، وَالشُّهَدَاءِ

 “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang jujur (shiddiqin), dan para syuhada di hari kiamat.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1209)

Hadis ini menunjukkan bahwa profesi sebagai pedagang tidak hanya bernilai duniawi, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang tinggi apabila dijalankan dengan integritas. Kejujuran dan amanah dalam berdagang bukan hanya tentang tidak menipu atau tidak mengurangi timbangan, melainkan juga mencakup kesungguhan dalam memenuhi janji, transparansi dalam harga dan kualitas barang, serta menjauhkan diri dari praktik curang atau merugikan pembeli.

Kedudukan mulia yang dijanjikan – yaitu bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada – menunjukkan betapa besarnya pahala dan penghargaan dari Allah SWT terhadap para pedagang yang menjaga kejujuran dan amanah dalam aktivitas usahanya. Hal ini sekaligus menjadi motivasi bagi umat Islam agar tidak hanya fokus pada keuntungan materi, tetapi juga senantiasa menjaga nilai-nilai etika dan moral dalam menjalankan profesi apa pun, khususnya dalam berdagang.

Kejujuran bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijaga, terutama di tengah berbagai tekanan dan tantangan kehidupan. Sering kali kita dihadapkan pada pilihan yang menggoda: mengambil jalan pintas, meraih keuntungan sesaat, atau mengabaikan prinsip demi hasil instan. Namun demikian, seorang Muslim yang menyadari bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi setiap gerak-geriknya, akan lebih berhati-hati dalam bertindak dan lebih mudah menahan diri dari perbuatan yang tidak jujur.

Kejujuran sejatinya adalah cerminan dari kekuatan iman dan keteguhan hati. Ia menuntut konsistensi, keberanian, dan pengorbanan. Tidak jarang orang yang jujur harus bersabar menghadapi kerugian materi atau penilaian yang keliru. Namun, kejujuran akan selalu membawa keberkahan, baik di dunia maupun di akhirat.

Oleh karena itu, marilah kita berupaya untuk menjadi pribadi yang jujur, amanah, dan ikhlas dalam menjalankan setiap tanggung jawab yang diamanahkan kepada kita. Bekerja dengan penuh integritas bukan hanya akan membawa rezeki yang halal dan berkah, tetapi juga menghadirkan kebahagiaan batin, ketenangan hati, dan kepercayaan dari orang lain.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing langkah kita, memudahkan kita untuk menjaga kejujuran dalam setiap aspek kehidupan, serta melindungi kita dari sifat-sifat tercela yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin.

-Sriyono DSP-

Dakwah merupakan istilah yang sering digunakan dalam konteks agama Islam. Secara harfiah, dakwah berasal dari kata Arab “dakwah” yang berarti “seruan” atau “panggilan”. Secara umum, dakwah merujuk pada usaha dan upaya menyampaikan ajaran agama kepada orang lain dengan tujuan untuk mengajak mereka mendekatkan diri kepada Allah dan mengamalkan nilai-nilai agama.

Olahraga adalah gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh, seperti contohnya sepak bola, berenang, bola basket dan lempar lembing. Olahraga juga bisa diartikan sebagai aktivitas yang melibatkan fisik dan keterampilan dari individu atau tim, dilakukan untuk hiburan.

Mens sana in corpore sano Istilah ini berasal dari puisi satir ke-10 yang ditulis oleh Decimus Iunius Juvenalis, seorang penyair Romawi kuno, pada abad ke-1 Masehi (sekitar tahun 100 M). Juvenalis hidup pada masa Kekaisaran Romawi dan terkenal dengan karya-karyanya yang mengkritik masyarakat Romawi melalui satire (sindiran tajam). kalimat lengkapnya adalah bagian dari nasihat agar manusia hanya meminta dua hal utama kepada para dewa: “Orandum est ut sit mens sana in corpore sano” (“Hendaknya seseorang berdoa agar dianugerahi jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat.”) Meskipun istilah ini berasal dari budaya Romawi, prinsipnya selaras dengan ajaran Islam, seperti dalam hadits: “Sesungguhnya badanmu punya hak atasmu.” (HR. Bukhari) Dan dalam doa Nabi ﷺ: “Ya Allah, berikan aku kesehatan pada badanku dan jiwaku.” Artinya: Islam juga mendorong umatnya untuk menjaga keseimbangan fisik dan rohani.

Olahraga bisa menjadi media Media Dakwah dikarenakan olahraga memiliki potensi besar sebagai media dakwah yang efektif. Di Dalam olahraga ada keterlibatan emosi yang kuat. Saat seseorang mengikuti atau menyaksikan pertandingan olahraga, mereka sering kali terlibat secara emosional dan bersemangat. Hal ini memberikan peluang yang baik bagi para pelaku dakwah untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Di Dalam Olahraga juga bisa menarik massa untuk ikut berpartisipasi baik untuk melakukan olahraga ataupun cukup dengan melihat atau menonton. Olahraga merupakan fenomena yang populer dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat luas. Pertandingan olahraga, seperti bola basket, sepak bola, bulu tangkis, atau atletik, seringkali menarik  penonton yang banyak baik di stadion maupun melalui siaran televisi. Dengan demikian, olahraga menjadi kesempatan yang baik untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada audiens yang luas.

Para atlet dan tokoh olahraga seringkali menjadi inspirasi bagi banyak orang. Prestasi mereka, kerja keras, ketekunan, dan semangat juang yang ditunjukkan dalam olahraga dapat menjadi teladan yang kuat dalam menyebarkan pesan-pesan agama. Dengan menggabungkan kisah-kisah inspiratif atlet dengan nilai-nilai agama, dakwah melalui olahraga dapat menjadi lebih menarik dan relevan.

Keutamaan Olahraga dalam Islam dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya mencontohkan pentingnya menjaga kesehatan tubuh sebagai bagian dari ibadah. Rasulullah mencontohkan olahraga seperti berjalan kaki, berlari berkuda, memanah dan berenang. Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

المؤ من الوى خير وأحب الى الله من المؤ من الضعيف

“Seorang Mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah baik daripada seorang Mukmin yang lemah” {HR Muslim} 

Kesehatan dan Kebugaran dalam olahraga memiliki hubungan erat. Dalam menyebarkan pesan-pesan agama, olahraga dapat dijadikan sebagai jembatan untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental sebagai bagian dari ajaran agama. Olahraga juga menjadi pemersatu dan pengungkapan solidaritas seperti pada saat Timnas sepakbola Indonesia bertanding, seluruh masyarakat Indonesia bersatu mendukung tim kebanggaan Indonesia.

Olahraga tidak hanya memberikan manfaat fisik dan kesehatan bagi tubuh, tetapi juga dapat mengajarkan nilai-nilai positif yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.Melalui pendekatan yang tepat, olahraga dapat menjadi alat yang efektif untuk membangun kesadaran sosial dan mendorong perubahan positif dalam masyarakat. Dengan memanfaatkan nilai-nilai positif yang melekat dalam olahraga, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, adil, peduli terhadap lingkungan, dan membantu komunitas yang membutuhkan

Olahraga adalah aktivitas yang melibatkan tubuh, pikiran, dan perilaku. Di Dalam olahraga ada beberapa beberapa hal positif seperti menunjukkan sikap sportifitas, menjaga emosi,  saling menghormati dan juga menegakkan keadilan serta harus memahami aturan olahraga dan mentaati terhadap peraturan yang ada didalamnya. Hal positif tersebut juga merupakan prinsip – prinsip dalam beragama. 

Menjaga Kesehatan dan Kebugaran Kesehatan dan kebugaran adalah aspek penting dalam prinsip-prinsip agama yang sering kali menekankan pentingnya menjaga tubuh sebagai anugerah dengan mengikuti program latihan yang seimbang, menjaga pola makan yang sehat. Olahraga memiliki kekuatan untuk menginspirasi, membentuk karakter, dan menyebarkan pesan kebaikan kepada masyarakat. Dengan memanfaatkan olahraga sebagai sarana dakwah, kita dapat mencapai audiens yang lebih luas dan mempengaruhi mereka melalui nilai-nilai positif yang terkandung dalam olahraga. 

-Suryadi, S.H. DSP-

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Muslim adalah orang yang kaum Muslimin lainnya selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya. Dan Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Penjabaran dan Makna Hadis:

  1. Makna “Muslim” sejati:

“Muslim ialah orang yang semua orang Islam selamat dari kejahatan lidah dan tangannya.”

  • Lidah: Yang dimaksud di sini mencakup segala bentuk ucapan buruk — seperti memfitnah, menggunjing (ghibah), mencaci maki, menghasut, berdusta, atau berkata kasar.
  • Tangan: Melambangkan perbuatan atau tindakan fisik — seperti menyakiti, mencuri, memukul, merusak, atau menzalimi orang lain.

➡️ Intinya: Keislaman seseorang tidak hanya dilihat dari syahadat atau ibadah ritual semata, tapi juga tercermin dari akhlaknya dalam menjaga hubungan dengan sesama. Seorang Muslim sejati harus menjadi pribadi yang aman dan tidak membahayakan orang lain, baik melalui ucapan maupun perbuatan.

  1. Makna “Muhajir” sejati:

“Muhajir ialah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah.”

  • Kata “Muhajir” secara bahasa berarti orang yang berhijrah. Awalnya merujuk pada mereka yang berpindah dari Makkah ke Madinah demi mempertahankan agama.
  • Namun dalam konteks ini, Nabi ﷺ memperluas maknanya: hijrah bukan hanya pindah tempat, tapi meninggalkan segala bentuk maksiat dan larangan Allah, yaitu berhijrah dari dosa menuju ketaatan.

➡️ Maknanya dalam kehidupan: Siapa pun bisa menjadi “Muhajir”, asalkan ia berusaha meninggalkan kebiasaan buruk, menjauh dari dosa, dan memilih jalan ketaatan kepada Allah.

Hikmah Hadis:

  1. Menekankan pentingnya akhlak sosial — Islam bukan hanya ibadah pribadi, tapi juga bagaimana kita memperlakukan orang lain.
  2. Menghindari mudharat bagi sesama adalah bentuk ibadah.
  3. Menunjukkan bahwa hijrah bersifat batiniah dan spiritual, bukan hanya fisik — yaitu perjuangan meninggalkan kemaksiatan.
  4. Memberi standar keislaman yang tinggi namun realistis, karena semua orang bisa berusaha menjaga lidah, tangan, dan meninggalkan dosa.

Relevansi Hadis di Zaman Sekarang:

Di era digital, menjaga lidah juga berarti menjaga jari-jari di media sosial — tidak menyebar hoaks, tidak menghina, dan tidak memprovokasi.
Hijrah modern: Banyak orang kini berupaya “berhijrah” secara spiritual — hadis ini memberikan petunjuk bahwa esensi hijrah adalah perubahan akhlak dan taat kepada Allah, bukan sekadar tampilan luar.

 

-Yudi Yanto DSP-

Orang tua adalah tempat anak-anak menggantungkan harapan, bahkan susah senang anak-anak berada dalam pengawasan dan kontrol orang tua. Betapa besarnya amanah dan tanggung jawab yang wajib ditunaikan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka. Oleh sebab itu berapapun bakti anak kepada orang tua belum sebanding dengan jasa dan pengorbanan mereka kepada kita.

Allah ﷻ telah memberikan kedudukan yang tinggi kepada orang tua dan menyuruh supaya setiap anak hendaklah berbuat baik kepada keduanya. Berbakti kepada orang tua yang dimaksudkan adalah berbuat baik kepada mereka, mentaati mereka, melaksanakan hak-hak mereka, serta menjauhi perilaku yang dapat menyakiti hati dan kehidupan mereka. Taat kepada ibu bapak adalah kewajiban dan menjadi sarana paling baik untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ karena taat kepada orang tua berarti mentaati perintah Allah ﷻ.

Allah ﷻ memerintahkan umat-Nya untuk berbakti kepada orang tua. Hal ini merupakan suatu kewajiban yang sangat penting dalam kehidupan kita. Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:

وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَٰلُهُۥ فِى عَامَيْنِ أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ ۝١٤

 “Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.” (Q.S. Luqman: 14). [1]

Pada dasarnya, berbakti kepada orang tua tidak hanya dilakukan ketika keduanya masih hidup. Namun, seorang anak perlu meneruskan bakti meskipun mereka berdua telah tiada. Sebagaimana hadits Rasulullah ﷺ dari Abi Asid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idy, dia berkata, “Ketika kami sedang duduk di rumah Rasulullah, tiba-tiba seorang lelaki dari Bani Salamah datang dan berkata, ‘Ya Rasulullah, apakah masih ada acara yang bisa saya lakukan untuk berbakti kepada Ibu bapak sesudah mereka meninggal dunia?’ Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ya, menyalatkan jenazah mereka, meminta ampunan dosa mereka dan menunaikan janji mereka setelah mereka meninggal serta menyambung tali silaturrahim yang tidak disambung kecuali dengan mereka, dan menghormati kawan-kawan mereka.’” (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban). [2]

Beruntunglah bagi setiap anak yang prihatin dan ingat akan kedua orang tua mereka baik waktu hidup maupun setelah mereka meninggal dunia. Segala bakti yang mereka curahkan tidaklah sia-sia, namun akan mendapat ganjaran pahala di dunia dan akhirat. Anak yang berbakti tentu saja tidak sanggup membiarkan diri dan kehidupan orang tua mereka terlantar. Amalan yang dapat dilakukan untuk orang tua yang sudah wafat antara lain:

  1. Menyalatkan jenazahnya. Jika ia anak lelaki maka lebih utama ia mengimamkan sholat jenazah kedua orang tuanya serta membaca doa untuk mereka.
  2. Senantiasa memohon ampunan dosa untuk keduanya.
  3. Menunaikan janji yang belum sempat ditunaikan oleh keduanya semasa hidup. Janji ini termasuk sedekah jariah, wakaf dan sebagainya.
  4. Ziarah kubur orang tua yang meninggal juga sebagai amalan bakti yang akan diberi ganjaran yang baik sebagaimana telah dijelaskan melalui hadits Rasulullah ﷺ, “Siapa saja yang menziarahi sekali makam kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya pada setiap Jumat, niscaya Allah mengampuninya dan ia tercatat sebagai anak yang berbakti kepada keduanya”. (H.R. Ath-Thabrani). [3]
  5. Berbuat baik kepada sahabat baik orang tua seperti meneruskan hubungan silaturrahim dengan sahabat mereka. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya termasuk perbuatan yang paling baik ialah meneruskan silaturrahim dengan sahabat baik ibu bapaknya sesudah mereka meninggal.” (H.R. Muslim). [4]
  6. Membantu keluarga yang dahulunya dibatu oleh orang tuanya. Abu Dawud meriwayatkan satu hadits, Seseorang bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Apakah suatu kebaikan yang masih dapat dilakukan kepada ibu bapaknya sesudah mereka meninggal dunia. Rasulullah menjawab, “Ada, yaitu mendirikan shalat berjamaah bagi keduanya, berdoa meminta ampun bagi keduanya, melaksanakan apa yang menjadi janji keduanya, memuliakan orang yang menjadi sahabat keduanya dan memberi pertolongan kepada keluarga yang bergantung kepada keduanya.” (H.R. Abu Dawud). [5]

Dengan demikian, marilah kita renungkan betapa besarnya tanggung jawab kita sebagai anak terhadap orang tua. Berbakti kepada mereka tidak hanya merupakan kewajiban yang harus kita laksanakan, tetapi juga merupakan jalan untuk memperoleh ridha Allah ﷻ dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam setiap langkah kita, baik ketika mereka masih ada maupun setelah mereka berpulang, kita hendaknya terus meneruskan amal kebajikan dan doa untuk mereka. Semoga kita semua diberikan kekuatan dan kemampuan untuk berbuat baik kepada orang tua kita, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan cara ini, kita akan dapat memenuhi hak mereka dan mendapat ganjaran yang berlipat ganda dari Allah ﷻ. Mari kita jadikan berbakti kepada orang tua sebagai bagian dari ibadah kita sehari-hari, sebagai bentuk syukur dan kecintaan kita kepada Allah ﷻ. Semoga Allah ﷻ memudahkan kita dalam menjalankan amanah ini dan mengumpulkan kita dengan orang tua kita di surga-Nya kelak. Amin ya Rabbal ‘alamin.

 

Marājiʿ :

[1] NU Online “Luqman · Ayat 14”. https://quran.nu.or.id/luqman/14. Diakses pada 20 September 2024.
[2] Khairul Ghazali. 24 Jam Melawan Setan. Klaten: WAFA Press. 2009 M. Cet.k-1. h.64.
[3] Alhafiz Kurniawan “9 Hadits tentang Keutamaan Berbakti pada Orang Tua”. https://nu.or.id/syariah/keutamaan-menziarahi-makam-kedua-orang-tua-etaaf. Diakses pada 20 September 2024.
[4] Khairul Ghazali. 24 Jam Melawan Setan. Klaten: WAFA Press. 2009 M. Cet.k-1. h.66.
[5] Khairul Ghazali. 24 Jam Melawan Setan. Klaten: WAFA Press. 2009 M. Cet.k-1. h.67.

-Damas Baik Ariansyah-

Hidup di dunia ini tidak lain adalah sedang menjalani ujian. Ujian untuk melihat sejauh mana kita taat kepada Allah, sejauh mana kita menjaga hati, lisan, dan perbuatan dari perkara yang dilarang.

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Anbiya ayat 35:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu akan dikembalikan.”

Ayat ini mengingatkan kita bahwa hidup adalah ujian, baik saat senang maupun susah. Dan pada akhirnya, kita pasti akan mati, lalu kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan.

Manusia Terlena oleh Dunia

Sejak kecil, orang tua telah membekali kita dengan ilmu agama agar kelak menjadi pribadi yang baik, selamat dunia dan akhirat. Namun, saat dewasa, tidak sedikit manusia yang terlena oleh dunia: sibuk mengejar harta, pangkat, dan kesenangan sesaat, hingga lupa bahwa hidup ini sementara.

Allah SWT berfirman dalam Surat Ghafir ayat 39:

يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ الْحَيَوٰةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ ۖ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ

“Wahai kaumku! Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara, dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.”

Namun, demi memenuhi nafsu dunia, manusia kadang menghalalkan segala cara: menipu, berbohong, bahkan korupsi. Padahal semua itu akan merugikan dirinya sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.

 

Setiap Amal Akan Dibalas

Allah SWT memperingatkan dalam Surat Az-Zalzalah ayat 7-8:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (٧) وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (٨)

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).”

Saudaraku, sekalipun kita hanya berbuat curang atau menipu seribu rupiah, yakinlah, dampaknya pasti akan terasa. Entah disadari atau tidak, akan ada konsekuensi dari perbuatan itu.

 

Demi Masa, Manusia dalam Kerugian

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-‘Ashr:

وَالْعَصْرِ ۝ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ۝ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.”

Ayat ini menjadi peringatan sekaligus motivasi agar kita tidak menyia-nyiakan waktu, dan tidak termasuk golongan orang yang merugi.

 

Renungkan: Apa yang Kita Bawa Saat Mati?

Renungkanlah 5 perkara sebelum datangnya 5 perkara:

  1. Sehat sebelum sakit
  2. Kaya sebelum miskin
  3. Muda sebelum tua
  4. Lapang sebelum sempit
  5. Hidup sebelum mati

Saudaraku,

  •  Presiden mati, dia bawa apa?
  •  Raja mati, dia bawa apa?
  •  Rektor mati, dia bawa apa?
  •  Kita mati, kita bawa apa?

Harta, jabatan, mobil mewah, semua akan ditinggalkan.

Yang kita bawa hanyalah amal shalih.

“Datang ke dunia tidak membawa apa-apa. Pergi dari dunia juga tidak membawa apa-apa, kecuali amal perbuatan.”

 

Penutup

Maka dari itu, marilah kita:

  • Selalu mengingat Allah dalam setiap keadaan,
  • Menjalankan perintah-Nya, dan
  • Menjauhi larangan-Nya.

Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang diselamatkan dari api neraka, dan dimasukkan ke dalam surga yang penuh kenikmatan.

اللهم أجرنا من النار، وأدخلنا الجنة برحمتك، يا أرحم الراحمين. آمين.

-Nur Waluyo DSP-

 

Wudhu adalah salah satu syarat sah sholat yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim sebelum melaksanakan ibadah sholat. Wudhu berfungsi untuk menyucikan diri dari hadas kecil agar ibadah yang dilakukan menjadi sah dan diterima oleh Allah SWT.

Mengapa Kita Harus Serius dalam Belajar Wudhu?

1.Wudhu adalah Perintah Allah

Allah subhanahu wata’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan usaplah kepala dan basuhlah kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki…..” (QS. al- Maidah: 6)

2.Menjadi Kunci Sahnya Sholat

Jika wudhu kita tidak benar, maka sholat yang kita lakukan bisa menjadi tidak sah. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari dan menerapkan tata cara wudhu yang sesuai dengan syariat Islam.

Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتىَّ يَتَوَضَّأَ

“Tidak diterima sholat salah seorang di antara kalian apabila berhadats, sehingga ia berwudhu.”

Berkaitan dengan hadit di atas, Imam Nawawi asy-Syafi’i rohimahulloh berkata:

مَعْنَاهُ حَتَّى يَتَطَهَّر بِمَاءٍ أَوْ تُرَاب، وَإِنَّمَا اِقْتَصَرَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْوُضُوء لِكَوْنِهِ الْأَصْل وَالْغَالِب وَاَللَّه أَعْلَم

Maksud kata “Yatawadhdho’” adalah sehingga ia bersuci dengan air atau debu. Disebutkan kata wudhu dalam hadis ini secara khusus sebagai cara bersuci, adalah disebabkan wudhu itu hukum asalnya bersuci dan yang paling sering digunakan.

3.Menghapus Dosa-dosa Kecil
Rasulullah ﷺ bersabda:


مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ

“Barangsiapa yang berwudhu lalu membaguskan wudhunya, niscaya kesalahan-kesalahannya keluar dari badannya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya.” (HR. Muslim)

Dengan memahami pentingnya wudhu, mari kita pelajari bersama tata cara dan aturan-aturan yang harus diperhatikan agar wudhu kita sempurna dan ibadah kita diterima oleh Allah SWT.

  • Syarat-syarat sahnya wudhu
  1. Beragaman Islam
  2. Tamyis yaitu bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk
  3. Suci dari hadast besar(Haid, nifas, Junub, ataupun keluar mani bagi laki-laki)
  4. Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke anggota wudhu
  5. Tidak ada sesuatau yang membuat berubahnya air (seperti tinta, sabun, kopi dan lainya)
  6. Air yang digunakan suci dan mensucikan
  7. Mengerti akan kefardhuan wudhu
  8. Tidak menyakini fardhunya wudhu adalah sunat
  9. Sudah masuk waktu sholat(tetapi wudhu bisa dikerjakan tidaak harus Ketika mau sholat, tetepi dapat dilakukan setiap saat, seperti orang yang menjaga wudhunya)
  10. Tertib atau terus menerus, melakukan wudhunya tidak diselingi dengan perbuatan lainya
  • Fardhu Wudhu
  1. Niat: Niat adalah perbuatan yang pertama yang dilakukan ketika kita membasuh muka(wajah).

Niat wudhu adalah: نويت الوضوء لرفع الحدث الأصغر فرضا للو تعالي

Artinya: Saya niat wudhu untuk menghilangkan hadats kecil karena Allah Ta’ala.

2. Membasuh wajah. Adapun yang dimaksud wajah adalah sejak dari batas tumbuhnya rambut diatas dahi terus kebawah sampai centil ke dua telinga kanan dan kiri dan dagu bagian bawah

3. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku

4. Menyapu/membasahi Sebagian kepala

5. Membasuh kedua kaki sampai telapak kaki

6. Tertib, Artinya mendahulukan perbuatan rukun yang memang harus didahulukan dan mengkemudiankan yang semestinya di kemudiankan sesuai ketentuan yang telah ditentukan.

  • Sunat-sunat wudhu

Diantara perbuatan sunat dalam berwudhu yaitu:

  1. Mengawali wudhu dengan membaca Bismillah
  2. Bersiwak atau bersugi sebelum wudhu
  3. Berkumur-kumur dengan air
  4. Membasuh/membersihkan telapak tangan 
  5. Beristinsyaq/menghisap air melalui hidung
  6. Mengulangi masing-masing basuhan anggota wudhu 3 kali
  7. Mengusap sebagian/atau seluruh kepala dan membasuh kedua telinga baik dalam maupun luar
  8. Mengusap jenggot bila ada
  9. Mendahulukan anggota kanan dari yang kiri
  10. Melebihi batas basuhan wudhu yang telah difardhukan
  • Perkara yang membatalkan wudhu

Adapun perkara yang membatalkan wudhu adalah:

  1. Keluarnya sesuatu dari dubur maupun qubul
  2. Sentuhan kulit antara kedua orang yang sudah baligh dan berlainan jenis, serta keduanya bukan muhrim (boleh nikah)
  3. Hilang akal
  4. Tidur/tertidur, kecuali dengan duduk yang tidak bergeser dari tempat duduknya.
  5. Menyentuh qubul atau dubur anak adam (manusia) dengan bagian dalam telapak tangan atau jari-jari tanpa tabir.
  • Perkara yang dimakruhkan wudhu
  1. Israf(berlebihan) menggunakan air
  2. Melebihi tiga kali basuhan
  3. Mengeringkan air wudhu dengan handuk atau lainnya
  4. Bercakap-cakap atau berbicara selain kalimat-kalimat dzikir kepada Allah SWT
  5. Meninggalkan sunat-sunatnya wudhu
  6. Meminta kepada orang lain untuk membasuhkan anggota wudhu
  • Larangan atau perbuatan haram yang berhadast kecil

Bagi orang yang tidak punya wudhu dinamakan orang yang berhadast kecil. Dan bagi orang yang berhadast kecil dilarang atau diharamkan melakukan:

  1. Mengerjakan sholat
  2. Mengerjakan Thawaf
  3. Menyentuh atau membawa Al Qur’an

Dengan memahami pentingnya wudhu, mari kita pelajari bersama tata cara dan aturan-aturan yang harus diperhatikan agar wudhu kita sempurna dan ibadah kita diterima oleh Allah SWT.

Disarikan dari berbagai sumber/rujukan

  1. Tuntunan Sholat wajib dan sunat ala ASWAJA Terbitan PT. Pustaka Baru 2016. Drs. H. Mukhamad Maskub, M.Pd.I
  2. Kitab Fathul Qorib karya Qadhi Abu Syujak Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahani. Terbitan Lirboyo press

-Eko DSP-