Kemerdekaan yang Sesungguhnya (Islam, Tan Malaka, dan Realita)

Kemerdekaan sering dipahami sebagai bebas dari penjajahan, bebas menentukan nasib sendiri, atau terbebas dari kekuasaan asing. Namun, dalam pandangan Islam, kemerdekaan memiliki makna yang jauh lebih dalam—bukan sekadar lepas dari belenggu fisik, tetapi juga bebas dari perbudakan hawa nafsu, syahwat, ketakutan pada sesama manusia, dan belenggu duniawi yang membuat hati menjadi tawanan.

Kemerdekaan dalam Islam

Islam memandang kemerdekaan sejati sebagai kebebasan hati dan jiwa untuk tunduk hanya kepada Allah. Seseorang yang merdeka secara lahiriah, tetapi hatinya terikat pada harta, jabatan, atau pujian manusia, sejatinya masih terpenjara. Al-Qur’an menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah semata:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyāt: 56)

Ayat ini menjadi pondasi bahwa kemerdekaan yang sejati adalah ketika kita memerdekakan diri dari perbudakan selain Allah. Rasulullah pun bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa kebebasan sejati adalah saat hati tenang dan ridha dengan ketentuan Allah, bukan terikat pada ambisi dunia yang tak ada ujungnya.


Tan Malaka dan Kemerdekaan Sejati

Tokoh pergerakan nasional, Tan Malaka, menegaskan bahwa hakikat kemerdekaan sejati tidak hanya diukur dari bebasnya suatu bangsa dari penjajahan fisik atau kekuasaan asing, tetapi dari pembebasan pikiran dari segala bentuk penindasan dan kebodohan. Menurutnya, bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang memiliki kemampuan berpikir secara bebas, kritis, dan berlandaskan pada kebenaran, bukan sekadar mengikuti arus atau tunduk pada doktrin yang menyesatkan.

Jika kita sandingkan pandangan Tan Malaka dengan ajaran Islam, maka pikiran yang merdeka adalah pikiran yang tidak dikuasai kebatilan, tetapi tunduk pada kebenaran Ilahi. Al-Qur’an mengajak manusia untuk menggunakan akal agar tidak terperangkap dalam kegelapan:

الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدٰىهُمُ اللّٰهُ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ اُولُوا الْاَلْبَابِ

 

“(Yaitu) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 18)

Di sini, kemerdekaan pikiran bukan berarti bebas sebebas-bebasnya tanpa batas, melainkan bebas dari kebodohan, fanatisme buta, dan hawa nafsu—lalu tunduk pada kebenaran yang Allah turunkan.


Realita: Kemerdekaan dalam Kehidupan Modern

1. Manusia Merdeka Menurut Psikologi

Psikologi modern memandang kemerdekaan sejati sebagai kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri (self-determination)—memiliki tujuan hidup yang jelas, mampu membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai pribadi, dan tidak hidup di bawah tekanan yang mematikan potensi diri.

Carl Rogers, tokoh psikologi humanistik, menyebut bahwa manusia merdeka adalah mereka yang fully functioning person—hidup otentik, menerima diri sendiri, terbuka terhadap pengalaman baru, dan mampu bertanggung jawab penuh atas pilihannya.

Namun, sering kali kita melihat orang yang secara finansial sukses, tetapi hatinya tertekan, pikirannya cemas, atau selalu merasa kurang. Inilah tanda bahwa kemerdekaan psikologis tidak otomatis dimiliki oleh mereka yang sukses lahiriah.

2. Merdeka diera modern saat ini

Di zaman modern ini, bentuk penjajahan tidak selalu berbentuk rantai besi atau senjata. Ada penjajahan gaya baru yang justru masuk melalui pintu yang kita biarkan terbuka: teknologi, informasi, budaya populer, bahkan sistem ekonomi. Banyak orang terjebak dalam perbudakan gaya hidup konsumtif, pencitraan media sosial, dan ketergantungan finansial.

Kita mungkin bebas secara politik, tetapi banyak yang menjadi “budak” cicilan, “budak” gaya hidup, atau “budak” validasi online. Inilah realita: kemerdekaan fisik bisa dimiliki, tetapi kemerdekaan hati dan pikiran sering hilang tanpa kita sadari.

Dalam Islam, mencari rezeki adalah kewajiban yang dimuliakan. Namun kemerdekaan dalam bekerja bukan berarti bebas dari kerja keras, melainkan bebas dari ketergantungan yang merendahkan martabat. Rasulullah bersabda:

عن الزبير بن العَوَّام رضي الله عنه مرفوعاً: «لأَن يأخذ أحدكم أُحبُلَهُ ثم يأتي الجبل، فيأتي بِحُزْمَة من حطب على ظهره فيبيعها، فَيَكُفَّ الله بها وجهه، خيرٌ له من أن يسأل الناس، أعْطَوه أو مَنَعُوه».  

“Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa ‎utas tali, lalu ia pergi ke gunung, kemudian ia kembali dengan memikul ‎seikat kayu bakar dan menjualnya, sehingga dengan hasil itu Allah ‎mencukupkan kebutuhan hidupnya. Itu lebih baik baginya daripada ‎meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberinya ataupun ‎tidak.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Bekerja dengan tangan sendiri adalah simbol kemerdekaan. Merdeka dalam mencari rezeki berarti kita tidak bergantung pada belas kasihan orang lain, tidak menggadaikan prinsip demi keuntungan, dan tetap menjaga halal-haram dalam usaha. Inilah kebebasan ekonomi yang menjadi bagian dari kemerdekaan sejati.


Bagaimana Meraih Kemerdekaan yang Sejati?

  • Tunduk hanya kepada Allah, bukan pada hawa nafsu atau tekanan manusia.
  • Mengisi akal dengan ilmu yang benar, bukan sekadar informasi yang menyesatkan.
  • Mengendalikan emosi dan ego, agar keputusan hidup tidak dikuasai amarah atau keserakahan.
  • Mencari rezeki dengan cara yang halal, sekalipun jalannya berat, agar hati tetap lapang dan mulia.
  • Melatih rasa syukur dan qana’ah, sehingga hati tidak terpenjara oleh ambisi tak terbatas.

Kemerdekaan sejati bukan hanya urusan politik atau sejarah, tetapi perjalanan spiritual, intelektual, dan moral yang berlangsung seumur hidup. Islam mengajarkan bahwa merdeka berarti bebas dari segala bentuk penghambaan kepada makhluk, dan hanya menjadi hamba Allah. Tan Malaka mengingatkan kita untuk memerdekakan pikiran dari kebodohan. Psikologi mengajarkan pentingnya kemerdekaan batin untuk hidup otentik. Dan realita mengajarkan bahwa merdeka dalam bekerja adalah pondasi martabat manusia.

Karena itu, mari kita jaga kemerdekaan ini—mulai dari hati, pikiran, hingga tindakan—agar kita benar-benar merdeka, di dunia dan di akhirat.

Terimakasih.

-Azhar Rahmanto, S.Pd. M.Pd. (Staf Badan Penjaminan Mutu) UII-